Kamis, 24 Mei 2012

Integritas, Identitas dan Persaudaraan

INTEGRITAS
Integritas berasal dari bahasa Latin “ integrate “ yang artinya komplit. Kata lain dari komplit adalah tanpa cacat, sempurna, tanpa kedok. Maksudnya adalah apa yang ada di hati dan yang kita ucapkan, yang kita pikirkan dan yang kita lakukan adalah sama.
Ada orang yang dalam hatinya dan apa yang diucapkannya berbeda, dihati marah-marah tapi dengan muka manis mengatakan, “ Syalom” atau “ Tuhan memberkati anda “. Ada pula orang yang apa yang dikatakannya dan apa yang dilakukannya berbeda. Orang ini mengatakan bahwa sebagai orang Kristen kita harus rajin berdoa padahal dia sendiri tidak pernah berdoa atau jarang berdoa.

Orang yang berintegritas adalah
  •  Orang yang tidak memakai kedok.
Contoh : Ada seorang hamba Tuhan yang siap untuk berkotbah. Dia memakai jubuh warna putih bersih yang memang dia siapkan untuk kotbah. Sambil menunggu waktu untuk beribadah dia minum secangkir kopi. Lalu ada seorang anak kecil yang berlari-lari dan tanpa sengaja menyenggol tanggannya sehingga kopinya tumpah dan mengotori jubahnya. Sudah tidak ada waktu untuk berganti pakaian. Hamba Tuhan ini snagat marah tapi ketika dilihatnya ibu si anak datang mendekat, ternyata dia adalah donator terbesar di gerejanya, apa yang hamba Tuhan ini katakana ketika si ibu meminta maaf ? “ O … tidak apa-apa, namanya juga anak kecil. “ dengan muka manis. Bila kejadian yang sama terjadi tapi orang tua dari si anak adalah jemaat yang menerima bantuan dari gereja, apa yang akan dilakukan oleh hamba Tuhan ini ? Dengan nada agak marah tapi tetap menjagi image sebagai Hamba Tuhan ia akan mengatakan, : Bu, anaknya jangan dibiarkan berlari-lari disini.” Tapi apa yang akan dikatakannya bila anak itu adalah anaknya sendiri ? “ Ma, kamu ini istri macam apa, jaga anak saja tidak bisa !!!”
  • Orang yang bertindak sesuai dengan ucapan
Contoh : Bapak A selalu menekankan pada anaknya bahwa mereka harus hidup jujur. Suatu hari Bapak A pulang kerja dalam keadaan yang sangat capai lalu telepon rumah berbunyi dan si Anak berkata, “ Pa, ada telepon untuk papa dari Om B.” Si B adalah tempan Bapak A yang suka hutang, maka Bapak A berkata kepada anaknya, “ Bilang Papa belum pulang dari kantor.”
  • Sama di depan dan dibelakang
Contoh : Si A sangat sebal dengan salah satu anak FAnya, Si B, karena selalu menimbulkan banyak kesulitan, ketika ketemu di FA maka sebagai gembala FA Si A berkata apa pada Si B ? “ Syalom, apa kabar ? Senang melihat kamu bisa datang ber-FA ?” tapi ketika dia berbicara dengan anggota yang lain maka gembala ini akan mengatakan, " Bila dia tidak datang atau pindah FA pasti suasana FA kita lebih baik."
  • Konsisten antara apa yang diimani dan kelakuannya
Contoh : Ada banyak orang yang berkata,”Tuhan itu baik.” Tapi ketika ada masalah dia berhenti ke gereja, berhenti berdoa, berhenti pelayanan. Bila Tuhan itu baik maka ketika dalam masalah seharusnya tetap berdoa, tetap ke gereja, tetap pelayanan.
  • Konsisten antara nilai hidup yang dianut dan hidup yang dijalankan
Bila kita percaya bahwa Firman Tuhan adalah pelita bagi kaki kita maka segala yang kita lakukan harus sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan apapun resikonya
Contoh : Ada orang yang naksir, kaya, baik, ganteng tapi tidak seiman sedangkan usia kita sudah diatas 35 tahun tetapi karena kita tahu bahwa ini tidak sesuai dengan Firman Tuhan maka tanpa ragu langsung berkata, : Tidak".



Mengapa kita harus memiliki integritas ?
  1. Karena integritas adalah kualitas yang Tuhan cari dalam diri seseorang. 1 Petrus 1 : 16 mengatakan demikian “ Kuduslah kamu ! Sebab Aku kudus “ Sebagai mahkluk yang diciptakan menurut citra diri Allah, Allah menghendaki kita untuk berusaha menjadi sama dengan Dia.
  2. Integritas menentukan masa depan kita
Orang yang memiliki integritas pasti memiliki masa depan yang lebih baik karena dia adalah pribadi yang benar dihadapan Tuhan dan manusia.
  1. Integritas kita berpengaruh pada lingkungan
Bila kita hidup sebagai orang yang berintegritas maka apa yang kita lakukan sedikit banyak akan diikuti oleh orang yang disekitar kita apalagi bila kita adalah seorang pemimpin. Cara berpikir kita akan diikuti oleh orang yang kita pimpin.
  1. Integritas adalah kotbah yang hidup
Bila kita hidup sebagai orang yang memiliki integritas maka orang akan mengenal bahwa orang Kristen adalah orang yang berintegritas, apa yang kita katakana dengan mudah akan di terima oleh orang lain sehingga kita lebih mudah menginjili mereka karena hidup kita sudah memberikan kesaksian yang banyak pada mereka.
Tokoh-tokoh yang memiliki integritas dalam Alkitab, diantaranya :
  1. Samuel ( 1 Samuel 12 : 1 -4 )
  2. Ayub ( Ayub 2 : 3 )
  3. Yesus ( Matius 22 : 16 )
  4. Paulus ( 2 Korintus 1 : 12 ).
Integitas tidak datang dengan sendirinya tapi harus dibangun lewat proses dan komitmen.
Kunci mengembangkan integritas :
  1. Perhatikan hal-hal yang kecil
Segala sesuatu selalu dimulai dari hal-hal kecil. Saya pernah menyusun sebuah puzzle yang besar dan saya memulainya dengan meletakkan sebuah potongan kecil. Kita juga sering tersandung karena hal-hal yang kecil. Karena itu selalu perhatikan hal-hal kecil, perkara yang sepele.
  1. Katakan “ TIDAK “ pada pencobaan
Ketika pencobaan datang kita punya kuasa untuk berkata tidak. Sekalipun bila kita melakukan tidak ada orang yang tahu. Tapi kita dan Tuhan tahu bila kita telah jatuh dalam pencobaan.
  1. Jangan bedakan kehidupan di depan umum dan ketika tidak di lihat oleh orang.
Jangan ingin di puji orang. Lakukan apa yang seharusnya kita harus lakukan baik dilihat atau tidak oleh orang lain karena kita melakukannya untuk Tuhan.


Identitas
Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Memperhatikan khaos yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, saya merasa ada perlunya untuk mendalami makna identitas. Karena identitas ternyata adalah biang yang memporakporanda berbagai negara, memecahbelahkan bangsa-bangsa, dan memposisikan manusia yang paling tidak politis sekali pun di satu sudut ruang berseberangan dengan berbagai perbedaan yang berpotensi konflik.
Apa yang membedakan kita atas nama kepercayaan, suku, dan bangsa, sudah terjadi sejak kita dilahirkan. Tanpa kita
Identitas adalah sebentang Mobius yang melilit. Di satu sisi, ia mengukuhkan kebersamaan satu kelompok, keselarasan visi dan ambisi, namun atas atas nama kemajuan, prestasi dan kebersamaan, ia juga mampu secara brutal menghancurkan pihak yang dinilai mengancam azas-azas yang mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap sah karena ia membela kedaulatan kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting survival purba yang kita wariskan dari leluhur kita sejak zaman Neolitik.
Sebaliknya, kita bisa memaknakan identitas dengan parameter yang lebih luas. Identitas, menurut Amin Maalouf, sekaligus inklusif dan eksklusif. Sebagai contoh, sebagai warga Indonesia beretnis Cina, maka saya dianggap warga minoritas. Tetapi sebagai anak turunan Cina, saya termasuk golongan warga terbesar di dunia. Perbedaan perspektif ini tergantung dari sudut referensi mana kita meneropong kedudukan kita. Sebaliknya, sebagai anak turunan Cina, dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut sebuah film tentang seorang pegawai kecil di bagian arsip dan bermukim di kawasan Lebak Bulus, saya menjadi sangat unik, karena tidak ada manusia lain selain saya yang menyandang predikat seperti ini. Tetapi kalau kita meneliti ini lebih dalam, maka kita akan menyimpulkan bahwa individualitas ini sebenarnya tidak secara keseluruhan murni, karena ia juga bermuatan berbagai elemen eksklusif yang bertautan dengan berbagai manusia, lepas dari kepercayaan, suku maupun kebangsaan. Sebagai contoh, saya berbagi satu hobi membaca dengan berjuta-juta manusia lain. Saya juga punya kesamaan seperti mereka yang suka bakmi, tahu, ataupun kue putu atau dengan mereka yang suka lagu-lagu Jeff Buckley.
Perumpamaan di atas secara gamblang menunjukkan betapa fleksibel sebenarnya identitas itu. Dalam skala makro, keberadaan kita mau tidak mau bertautan dengan begitu banyak manusia dari latar yang berbeda-beda dan tidak terbatas oleh demarkasi lokasi ataupun bangsa. Ironisnya, secara individu pun kita tidak mungkin dikelompokkan dalam satu kelompok karena pada dasarnya kita semua sangat berbeda. Ini terbukti beberapa waktu yang lalu oleh penelitian proyek genome manusia, di mana ditegaskan bahwa DNA manusia adalah sebuah keajaiban dari ribuan permutasi yang sama sekali tidak mungkin direplikasi. DNA kita ibaratnya hasil dari sekali tekanan tombol mesin jackpot dengan ratusan ikon yang berbeda. Kemungkinan untuk memreplikasi susunan DNA yang sama, sama sekali tidak ada.
Ilmu pengetahuan yang tadinya kita harapkan sebagai bintang penyelamat untuk membebaskan kita dari ortodoksi identitas, ternyata malah membuat kita semakin terjerumus dalam jurang pemisah. Pengetahuan, menurut Michel Foucault, hanya bisa membangkitkan lebih banyak pengetahuan. Michel Foucault memberi contoh seperti ini: seorang dokter yang kena flu tahu bagaimana mengobati dirinya dengan memilih obat yang tepat, tapi untuk kesehatan jiwanya ia tidak mampu memberikan preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia membutuhkan lebih dari obat, ia perlu melakukan pelatihan-pelatihan “ tehkne tou biou — untuk mencapai satu titik konversi — metanoai. Tehkne tou biou ini bukan sebuah antidote, seperti antidote untuk flu, tetapi sebuah perjalanan spiritualitas yang perlu ditekuni dalam hidup masing-masing. Pengetahuan dalam hal ini tidak mampu banyak membantu, karena ia justru mengakibatkan kita terperangkap dalam sejarah, tradisi dan segala embel-embel kepurbaan yang semakin mengikat kita pada satu identitas. Ia tidak mendorong kita untuk lebih mendekat pada realitas kehidupan dalam arti sebenarnya.
Alain Badiou dalam bukunya Ethics mengupas apa yang disebutnya sebagai akronim usang. Seperti kata-kata Keadilan, Demokrasi, Cinta, dan dalam hal ini Identitas juga bisa kita masukkan dalam deretan akronim abstrak ini. Sebagai sebuah term kata Identitas seperti juga Keadilan tidak punya makna yang konkret. Karena ia hanya sebuah term abstrak. Badiou ingin menjelaskan kepada kita bahwa ketika sebuah kegiatan dibakukan menjadi sebuah simbol ia kehilangan makna aslinya. Ketika kita mengatakan Keadilan maka makna asli dari kata itu, yaitu berlaku adil, segera kehilangan makna aslinya. Kita tenggelam dalam sebuah semesta makna yang begitu luas sehingga keaslian makna itu sendiri menjadi kabur. Kita lupa bahwa Identitas berangkat dari kata kerja yang punya makna memperkenalkan diri, mengidentifikan diri orang lain, atau menyatukan diri dengan orang lain. Dengan kata lain, dengan merangkul kata identitas kita menjadi lupa melakukan hal-hal yang berlaku untuk makna itu.
Identitas juga bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan orang lain. Identitas manusia selama hidupnya dicerminkan oleh seperangkat opini orang lain. Identitas dalam hal ini terkandung kesemuan yang menjadi kenyataan ketika kita mengkonfirmasi predikat-predikat dari orang lain. Ini paradoks yang kita bawa dari lahir yang akan terus melekat kecuali kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari tirani penafsiran Yang Lain. Dari penelitian proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa sama seperti orang lain, sekalipun kita berusaha keras. Keunikan setiap individu sekaligus adalah kekuatan diri dan kelemahannya. Kekuatan karena dengan memahami keunikan itu kita tidak tergoyahkan oleh penafsiran Yang Lain. Kelemahannya adalah ketika kita berupaya untuk mengukuhkan identitas itu.
Seperti jalan menuju kesejahteraan jiwa harus melewati tehkne tou biou, pengasahan subjektivitas, maka untuk menjangkau orang lain kita juga perlu bekerja keras. Langkah pertama adalah membebaskan diri dari identitas. Manusia bebas identitas tidak memandang perbatasan negara, perbedaan suku atau pun kepercayaan sebagai jurang pemisah. Karena manusia pada dasarnya terikat dalam kebersamaan yang tak terelakkan, yaitu sebagai kelompok manusia berakal sehat dengan nilai-nilai kebaikan hakiki, mengemban visi yang sama, yakni dunia yang lestari dan damai. Dunia tanpa perbatasan dan identitas memungkinkan manusia untuk berpadu dalam satu komunitas dunia, bahu membahu menyelesaikan persoalan satu kasus demi satu kasus, tidak saling menyalip demi kepentingan bangsa, suku mau pun kepercayaan masing-masing. Alain Badiou menyimpulkan dengan elegan, Satu bertaut dalam Dua. Kebersamaan berada dalam pergelutan perbedaan. Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa yang perlu kita lakukan bukan menyatu dengan orang banyak tetapi berusaha keras untuk mengembangkan simpati dan empati pada orang lain tanpa kekalutan historis, suku, maupun kepercayaan. Dari satu individu ke individu yang lain. Tanpa baliho yang meneriakkan slogan kebesaran ini dan itu.
Imajinasi juga sangat berperan dalam pendekatan kita pada Yang Lain. Dalam novelnya Identity, Milan Kundera memberi sebuah contoh bagaimana paras seseorang yang tak dikenal di sebuah kafe meninggalkan impresi yang begitu dalam pada tokoh utama novel sehingga ia berkembang dan menjadi seorang karakter yang terasa begitu akrab, seperti seseorang yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun. Melalui imajinasi, simpati dan empati kita akan terpicu, terlepas dari belenggu pradugaan dan keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada Yang Lain


PERSAUDARAAN
Hidup Persaudaraan seperti dicontohkan Santo Fransiskus dari Assisi dan para saudara dina awal
Bagi Fransiskus, salah satu kata terpenting dalam kamusnya adalah “saudara-saudari.” Bagi dia juga tidak ada perbedaan antara pribadi manusia yang muda dan tua, miskin dan kaya, laki-laki dan perempuan, terpelajar dan tidak terpelajar. Semua adalah saudara-saudari, baik mereka yang Kristiani maupun beriman kepercayaan lain, baik yang baik maupun jahat, baik kawan maupun lawan, bahkan hewan-hewan dan segenap ciptaan menjadi saudara-saudari bagi Fransiskus. Pandangan Fransiskus ini tidaklah biasa pada masa hidupnya, bahkan sampai sekarang pun terkadang masih terasa “aneh” di telinga orang dunia yang “normal.”
Bagi Fransiskus, persaudaraan dalam keluarga besar Fransiskan haruslah berdasarkan ketaatan dan cinta kasih. Ketaatan adalah persaudaraan, persaudaraan adalah cinta kasih. Semua berarti hal yang sama. Dalam persaudaraan, setiap orang mesti mendengar dan memberi telinga kepada saudara atau saudarinya yang menceritakan pengalamannya, keterbukaannya, pengharapannya dan permasalahannya. Saudara atau saudari yang memberi telinganya kepada orang lain harus mengampuni kesalahan sesama. Jika ada seorang saudara atau saudari yang sakit, maka saudara atau saudarinya yang lain mesti merawatnya sama seperti seorang ibu merawat anaknya yang sakit. Jika seorang saudara atau saudari berada dalam situasi krisis, maka dia pun jangan takut untuk menyatakan situasinya kepada saudara atau saudarinya yang lain. Setiap saudara atau saudari mesti menerima sesama dengan penuh cinta kasih, tanpa prasangka. Dengan demikian dia “mentaati” sesama dan ketaatan itu menjadi pokok dan dasar persaudaraan.  Dari pelbagai buku klasik yang menceritakan riwayat hidupnya, Fransiskus sendiri memang nyata menjadi contoh sempurna dari ketaatan itu.
Mengenai pandangan dan sikap Fransiskus terhadap hidup persaudaraan ini, Thomas dari Celano menulis:
Santo Fransiskus, mendesak semua orang terlebih-lebih kepada cinta kasih, memperingatkan mereka untuk saling menunjukkan – yang seorang kepada yang lain – keramah-tamahan  dan persahabatan suatu kehidupan keluarga, “Aku berkeinginan,” katanya, “para saudaraku akan menunjukkan diri mereka sebagai anak-anak dari ibu yang sama.”

Mari sekarang kita lihat apa yang ditulis Fransiskus dalam “Peraturan Hidup” yang dibuatnya untuk para saudara dina:
“Dan di mana pun juga saudara-saudara berada dan bertemu, hendaklah mereka menunjukkan bahwa mereka satu sama lain merupakan saudara sekeluarga. Maka yang satu hendaknya dengan leluasa menyatakan kebutuhannya kepada yang lain; karena jika seorang ibu mengasuh dan mengasihi anaknya yang badani, betapa lebih saksama lagi seorang saudara harus mengasihi dan mengasuh saudaranya yang rohani. Dan jika ada saudara yang tertinggal karena sakit, maka saudara lainnya harus melayaninya, sebagaimana mereka sendiri ingin dilayani.”
Thomas dari Celano juga dengan indahnya menggambarkan hidup persaudaraan para pengikut Fransiskus awal dan buah-buah yang dihasilkannya:
“Banyak dari antara rakyat, bangsawan dan orang biasa, rohaniwan dan awam, berkat ilham ilahi mulai menggabungkan diri dengan Santo Fransiskus, karena ingin menjadi ksatria Kristus untuk selama-lamanya di bawah pimpinan dan bimbingannya … Memang di atas dasar yang kokoh itulah berdiri bangunan cinta kasih dari batu-batu hidup, yang terkumpul dari segala penjuru dunia dan yang disusun menjadi kediaman Roh Kudus. Betapa hebatnya murid-murid Kristus yang baru itu berkobar-kobar karena cinta kasih. Betapa besarnya cinta kepada persekutuan suci itu hidup dalam hati mereka! Sebab bila mereka berpapasan di mana saja atau seperti lazimnya saling berjumpa di jalan, maka terlepaslah anak panah cinta kasih ke atas, yang di atas segala kecenderungan hati kodrati menaburkan benih cinta kasih yang sejati.”
Pelbagai kesaksian dari para Fransiskan maupun non-Fransiskan pada abad 12-13 cukup sepakat dalam evaluasi mereka atas peri kehidupan para Fransiskan awal. Dikatakan oleh mereka bahwa fraternitas para saudara dina “menerobos struktur-struktur kelas yang dijadikan alat oleh suatu mentalitas feodal dan abad pertengahan.”  Persaudaraan (fraternitas) seperti dipraktekkan secara unik oleh para saudara dina awal merupakan sesuatu yang sungguh baru dalam konteks konsepsi piramidal yang mencirikan jaman pada waktu gerakan Fransiskan itu muncul. 
Pada titik ini pentinglah bagi kita masing-masing untuk bertanya dari manakah kiranya Fransiskus  memperoleh ilham untuk sampai kepada penghayatan arti fraternitas yang sebegitu uniknya? Dalam kesempatan hari ini marilah kita membahas pokok ini secara singkat saja. Paling sedikit kita harus dapat sampai kepada jawaban atas pertanyaan tersebut. Tentunya sebuah jawaban yang dapat dipertanggung-jawabkan dengan baik.

Karena Allah: Perintah untuk saling mengasihi
Menurut Pater Gerald Lobo, OFM   untuk menjawab pertanyaan tentang fraternitas di atas janganlah kita mengacu kepada sosiologi atau psikologi, tetapi mencarinya di dalam teologi atau dalam pewahyuan. Titik tolaknya adalah Penjelmaan Allah à Sabda menjadi manusia! Kasih Allah sendiri. Kasih Allah inilah yang menjadi fundamen hidup persaudaraan. Kita dapat menamakannya dinamika relasional yang terdiri dari pemahaman bersama, kesiapan untuk saling membantu, menaruh perhatian pada hidup saudara-saudari yang lain, syering pelbagai suka cita dan kesedihan serta kesusahan, dukungan yang sejati dan sumbangan terbaik yang dapat dibuat oleh masing-masing anggota persaudaraan.
Kekaguman penuh pesona yang sedemikian hebatnya dari Fransiskus akan Allah adalah suatu karakteristik luarbiasa dari keseluruhan visinya tentang kehidupan. Fransiskus yakin bahwa Allah telah memberikan dan terus memberikan kepada kita kehidupan dan eksistensi. Dan Allah telah melakukan dan masih melakukan semua yang baik bagi kita. Perwujudan yang unik dari kasih ini adalah penjelmaan, penebusan  dan kedatangan Kristus untuk kedua kalinya kelak. Pater Gerry Lobo mengatakan bahwa inilah fundamen alkitabiah-teologis dari persaudaraan dan motif untuk kasih persaudaraan, yakni karena Allah mengasihi kita, karena Allah yang adalah kasih. 
Perintah Kristus kepada para murid-Nya untuk saling mengasihi (Yoh 15:12) memberikan kepada kita semua para Fransiskan tambahan insentif untuk saling mengasihi sebagai saudara dan saudari. Perintah yang diberikan oleh Kristus kepada kita adalah “jalan” yang dijalani-Nya sendiri untuk menunjukkan betapa besar kasih Allah kepada kita (Yoh 14:3) dan agar kita dapat mempunyai hidup secara berkelimpahan (Yoh 10:10). Perintah untuk mengasihi yang sama adalah cara bagaimana para murid Kristus seharusnya menjalin hubungannya dengan Allah dan dengan sesama. Ini adalah sebuah misi yang perlu diaktualisasikan setiap hari dalam ikatan persaudaraan. 
Kehidupan Kristus di bumi ini, bahkan sampai kematian-Nya merupakan suatu tanda yang jelas tentang kasih Bapa surgawi kepada-Nya dan suatu tanda pelayanan Kristus bagi para saudara dan saudari-Nya. Dengan demikian hidup persaudaraan dari para saudara dan saudari merupakan sebuah realisasi hidup-kasih yang dijalani Yesus sendiri. Hal ini memerlukan pengungkapan-pengungkapan konkret, tidak sekedar kata-kata dan perasaan-perasaan yang enak. Jadi sebenarnya sebuah persaudaraan dibentuk untuk memberikan hidup kepada orang-orang lain.


Dinamika Persaudaraan
Dalam kesetiaannya terhadap perintah Kristus, Fransiskus mencari jalan-jalan (cara-cara) tertentu untuk mewujudkan relasi-relasi persaudaraan seperti diungkapkannya dalam AngTBul:
“Cinta kasih antara mereka itu haruslah mereka nyatakan dengan perbuatan, sesuai dengan kata rasul: Marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. Janganlah mereka memburukkan nama  seorang pun; janganlah mereka bersungut-sungut dan memfitnah orang lain, karena ada tertulis: Para pengumpat dan pemfitnah dibenci oleh Allah. Lagi pula hendaklah mereka dengan sopan dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang; janganlah mereka menghakimi dan menghukum. Dan lagi, sesuai dengan firman Tuhan, janganlah mereka melihat dosa orang lain yang kecil-kecil, tetapi lebih-lebih hendaklah mereka merenungkan dosanya sendiri dengan hati yang pahit pedih. Mereka harus berlomba-lomba untuk melalui pintu yang sesak, sebab Tuhan berfirman: Sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan; dan sedikitlah orang yang mendapatinya.”
Pater Gerry Lobo juga membuat daftar singkat yang berisikan beberapa unsur yang paling hakiki dari persaudaraan Fransiskan. Berikut ini adalah terjemahan bebas dan sedikit saduran dari saya:

1.    Cinta kasih yang diungkapkan dalam tindakan (Love in action). Pelayanan yang diberikan seorang anggota persaudaraan kepada para saudara dan saudarinya mengambil contoh tindakan Yesus, yang pada waktu perjamuan terakhir membasuh kaki para murid-Nya (Yoh 13:1 dsj). Oleh karena itu Ekaristi adalah cinta kasih yang diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.

2.    Keakraban (Familiarity). Keakraban di antara para saudara dan saudari “merupakan suatu cara yang sangat konkret dalam mewujudkan gambaran ideal Perjanjian Baru tentang rumah dan keluarga Allah, sebagai sebuah komunitas para putera dan puteri Bapa surgawi. Kita menjadi anak-anak-Nya karena Putera dari Bapa itu telah menjadi saudara kita.”   Keakraban termaksud dapat kita lihat dalam pertemuan-pertemuan para anggota persaudaraan: tidak perlu dilakukan perkenalan karena kita sudah saling mengenal, yakni mengenai latar belakangnya, hal-hal yang diminatinya, kelemahan-kelemahannya, kekuatan-kekuatannya, suka citanya, kesusahan-kesusahannya. Dalam keakraban ini orang-orang asing menjadi teman-teman.

3.    Mutualitas (Mutuality). Ini adalah soal “give and take”, saling percaya dan atas pertimbangan bahwa setiap anggota persaudaraan adalah sama-sederajat (equal). Di sini tidak ada tempat untuk memperlakukan seorang lain sebagai obyek curahan cinta kasih kita. Sebaliknya pihak lain itu adalah mitra atau partner yang memiliki hak-hak yang sama. Mutualitas berarti tidak dengan sembrono ikut campur urusan orang lain. Mutualitas menuntut dari para anggota persaudaraan  suatu sikap moral yang fundamental dalam hal hormat terhadap para saudara dan saudari yang lain.

4.    Membiarkan diri dilayani orang lain (Letting be Administered). Di sini membuat kebutuhan-kebutuhannya, apakah kebutuhan fisik, psikologis atau spiritual diketahui oleh orang lain (saling membuka diri). Untuk pergi kepada orang lain diperlukan kerendahan hati. Namun begitu melakukannya, orang bersangkutan itu pun akan melihat dirinya dibebaskan/dimerdekakan. Ini bukanlah interaksi antara majikan dan pegawai. Di sini anda memperkenankan orang-orang lain untuk melayanimu, untuk mengarahkanmu dalam menapak tilas jalan kehidupanmu. Seringkali dalam hal sedemikian kita gagal karena kerendahan hati merupakan keutamaan yang sangat mahal bagi kita!

5.    Perhatian atas saudara dan saudari yang sakit (Care of the Sick). Fransiskus dan Klara sangat sadar akan sikap dan kewajiban mereka terhadap saudara dan saudari yang menderita sakit-penyakit dalam persaudaraan-persaudaraan mereka. AngTBul X, AngBul IV:2, “Nyanyian Fransiskus untuk membesarkan hati wanita-wanita miskin di San Damiano (NyaFran),”  Pth XXIV dan Kidmat, khususnya ayat 10-11; semua ini merupakan indikasi bagi kita semua betapa penuh perhatian Fransiskus atas mereka yang menderita sakit-penyakit. Fransiskus dan Klara sangat memahami bahwa orang sakit membutuhkan pertolongan dan perhatian yang lebih daripada orang-orang yang sehat waalfiat. Jadi di sini ada “perlakuan yang tidak sama” (unequal treatment) terhadap mereka yang sakit, agar supaya tercapai “persamaan” (equality) untuk semuanya, baik sakit maupun sehat. Mereka yang sakit tidak boleh dipertimbangkan sebagai beban, karena pikiran dan sikap seperti itu bertentangan dengan pikiran dan sikap Kristus.

6.    Sikap dari orang sakit atau sehat (Attitude of the sick or healthy). Yang patut kita camkan adalah bahwa Allah-lah yang penting dalam apa saja yang kita lakukan, atau dalam kondisi macam apa pun kita yang kita alami/hadapi. Ketaatan kepada Allah dalam segala situasi kehidupan, itulah yang penting. Dengan kata lain, penderitaan karena sakit, kalau diterima dengan positif, akan membawa si penderita kepada pandangan baru mengenai kehidupan. Sakit-penyakit adalah cara Allah dalam berurusan dengan umat yang dikasihi-Nya. Kesehatan adalah anugerah Allah kepada setiap orang. Dalam kondisi sehat pun kita harus melakukan discernment  mengenai kehendak Allah atas diri kita dan melakukan apa yang diwahyukan-Nya kepada kita. Dalam setiap keadaan, yang utama adalah Allah sendiri. Baca dan renungkanlah “Doa dan ucapan syukur” yang terdapat dalam “Peraturan Hidup” para saudara dina.

7.    Sikap penuh syukur (Gratitudinal Attitude). Di atas segalanya, persaudaraan Fransiskan dibentuk dengan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Allah mengasihi kita dan kita pun mengasihi-Nya dalam sikap dan tindakan saling mengasihi dengan sesama. Sikap penuh syukur melupakan hal-hal yang tidak hakiki dalam hidup ini, dan hanya berkonsentrasi pada Allah yang adalah Baik, segala kebaikan, seluruhnya baik. Dia adalah sumber dari hidup persaudaraan karena Dia adalah Pencipta dan Bapa dari para saudara dan saudari yang berkumpul bersama untuk hidup bersama. Allah tidak hidup karena syukur dan terima kasih kita, tetapi kita pasti akan dipelihara lewat pelbagai rasa syukur yang kita panjatkan kepada-Nya.
Bacaan Kitab Suci untuk direnungkan secara pribadi maupun dalam kelompok:
1.     Yoh 17:20-21 (doa Yesus untuk para murid-Nya)
2.     Rm 15:5-6 (doa Paulus bagi persaudaraan Kristiani)
3.     Gal 6:1-10 (nasihat Paulus bagi kita untuk saling membantu)
4.     Kis 2:42 (kumpul-kumpulnya orang Kristiani)
5.     Mat 25:31-46 (yang terkecil dari para saudara-Ku)
6.     Rm 12:9-21 (cinta kasih persaudaraan)
7.     1Kor 13:1-13 (kesempurnaan cinta kasih)
8.     Ef 2:11-22 (dipersatukan dalam Kristus)
9.     1Ptr 4:7-11 (hidup orang Kristiani)
10.  Flp 2:1-11 (bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment yach...