INTEGRITAS
Integritas berasal dari bahasa Latin
“ integrate “ yang artinya komplit. Kata lain dari komplit adalah tanpa cacat,
sempurna, tanpa kedok. Maksudnya adalah apa yang ada di hati dan yang kita
ucapkan, yang kita pikirkan dan yang kita lakukan adalah sama.
Ada orang yang dalam hatinya dan apa
yang diucapkannya berbeda, dihati marah-marah tapi dengan muka manis
mengatakan, “ Syalom” atau “ Tuhan memberkati anda “. Ada pula orang yang apa
yang dikatakannya dan apa yang dilakukannya berbeda. Orang ini mengatakan bahwa
sebagai orang Kristen kita harus rajin berdoa padahal dia sendiri tidak pernah
berdoa atau jarang berdoa.
Orang yang berintegritas adalah
- Orang yang tidak memakai kedok.
Contoh : Ada seorang hamba Tuhan yang siap untuk berkotbah.
Dia memakai jubuh warna putih bersih yang memang dia siapkan untuk kotbah.
Sambil menunggu waktu untuk beribadah dia minum secangkir kopi. Lalu ada
seorang anak kecil yang berlari-lari dan tanpa sengaja menyenggol tanggannya
sehingga kopinya tumpah dan mengotori jubahnya. Sudah tidak ada waktu untuk
berganti pakaian. Hamba Tuhan ini snagat marah tapi ketika dilihatnya ibu si
anak datang mendekat, ternyata dia adalah donator terbesar di gerejanya, apa
yang hamba Tuhan ini katakana ketika si ibu meminta maaf ? “ O … tidak apa-apa,
namanya juga anak kecil. “ dengan muka manis. Bila kejadian yang sama terjadi
tapi orang tua dari si anak adalah jemaat yang menerima bantuan dari gereja,
apa yang akan dilakukan oleh hamba Tuhan ini ? Dengan nada agak marah tapi
tetap menjagi image sebagai Hamba Tuhan ia akan mengatakan, : Bu, anaknya
jangan dibiarkan berlari-lari disini.” Tapi apa yang akan dikatakannya bila
anak itu adalah anaknya sendiri ? “ Ma, kamu ini istri macam apa, jaga anak
saja tidak bisa !!!”
- Orang yang bertindak sesuai dengan ucapan
Contoh : Bapak A selalu menekankan pada anaknya bahwa mereka
harus hidup jujur. Suatu hari Bapak A pulang kerja dalam keadaan yang sangat
capai lalu telepon rumah berbunyi dan si Anak berkata, “ Pa, ada telepon untuk
papa dari Om B.” Si B adalah tempan Bapak A yang suka hutang, maka Bapak A
berkata kepada anaknya, “ Bilang Papa belum pulang dari kantor.”
- Sama di depan dan dibelakang
Contoh : Si A sangat sebal dengan salah satu anak FAnya, Si
B, karena selalu menimbulkan banyak kesulitan, ketika ketemu di FA maka sebagai
gembala FA Si A berkata apa pada Si B ? “ Syalom, apa kabar ? Senang melihat
kamu bisa datang ber-FA ?” tapi ketika dia berbicara dengan anggota yang lain
maka gembala ini akan mengatakan, " Bila dia tidak datang atau pindah FA
pasti suasana FA kita lebih baik."
- Konsisten antara apa yang diimani dan kelakuannya
Contoh : Ada banyak orang yang berkata,”Tuhan itu baik.”
Tapi ketika ada masalah dia berhenti ke gereja, berhenti berdoa, berhenti
pelayanan. Bila Tuhan itu baik maka ketika dalam masalah seharusnya tetap
berdoa, tetap ke gereja, tetap pelayanan.
- Konsisten antara nilai hidup yang dianut dan hidup yang dijalankan
Bila kita percaya bahwa Firman Tuhan adalah pelita bagi kaki
kita maka segala yang kita lakukan harus sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan
apapun resikonya
Contoh : Ada orang yang naksir, kaya, baik, ganteng tapi
tidak seiman sedangkan usia kita sudah diatas 35 tahun tetapi karena kita tahu
bahwa ini tidak sesuai dengan Firman Tuhan maka tanpa ragu langsung berkata, :
Tidak".
Mengapa kita harus memiliki
integritas ?
- Karena integritas adalah kualitas yang Tuhan cari dalam diri seseorang. 1 Petrus 1 : 16 mengatakan demikian “ Kuduslah kamu ! Sebab Aku kudus “ Sebagai mahkluk yang diciptakan menurut citra diri Allah, Allah menghendaki kita untuk berusaha menjadi sama dengan Dia.
- Integritas menentukan masa depan kita
Orang yang memiliki integritas pasti memiliki masa depan
yang lebih baik karena dia adalah pribadi yang benar dihadapan Tuhan dan
manusia.
- Integritas kita berpengaruh pada lingkungan
Bila kita hidup sebagai orang yang berintegritas maka apa
yang kita lakukan sedikit banyak akan diikuti oleh orang yang disekitar kita
apalagi bila kita adalah seorang pemimpin. Cara berpikir kita akan diikuti oleh
orang yang kita pimpin.
- Integritas adalah kotbah yang hidup
Bila kita hidup sebagai orang yang memiliki integritas maka
orang akan mengenal bahwa orang Kristen adalah orang yang berintegritas, apa
yang kita katakana dengan mudah akan di terima oleh orang lain sehingga kita
lebih mudah menginjili mereka karena hidup kita sudah memberikan kesaksian yang
banyak pada mereka.
Tokoh-tokoh yang memiliki integritas
dalam Alkitab, diantaranya :
- Samuel ( 1 Samuel 12 : 1 -4 )
- Ayub ( Ayub 2 : 3 )
- Yesus ( Matius 22 : 16 )
- Paulus ( 2 Korintus 1 : 12 ).
Integitas tidak datang dengan
sendirinya tapi harus dibangun lewat proses dan komitmen.
Kunci mengembangkan integritas :
- Perhatikan hal-hal yang kecil
Segala sesuatu selalu dimulai dari hal-hal kecil. Saya
pernah menyusun sebuah puzzle yang besar dan saya memulainya dengan meletakkan
sebuah potongan kecil. Kita juga sering tersandung karena hal-hal yang kecil.
Karena itu selalu perhatikan hal-hal kecil, perkara yang sepele.
- Katakan “ TIDAK “ pada pencobaan
Ketika pencobaan datang kita punya kuasa untuk berkata
tidak. Sekalipun bila kita melakukan tidak ada orang yang tahu. Tapi kita dan
Tuhan tahu bila kita telah jatuh dalam pencobaan.
- Jangan bedakan kehidupan di depan umum dan ketika tidak di lihat oleh orang.
Jangan ingin di puji orang. Lakukan apa yang seharusnya kita
harus lakukan baik dilihat atau tidak oleh orang lain karena kita melakukannya
untuk Tuhan.
Identitas
Identitas
bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan
mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Memperhatikan khaos yang
terjadi selama sepuluh tahun terakhir, saya merasa ada perlunya untuk mendalami
makna identitas. Karena identitas ternyata adalah biang yang memporakporanda
berbagai negara, memecahbelahkan bangsa-bangsa, dan memposisikan manusia yang
paling tidak politis sekali pun di satu sudut ruang berseberangan dengan
berbagai perbedaan yang berpotensi konflik.
Apa
yang membedakan kita atas nama kepercayaan, suku, dan bangsa, sudah terjadi
sejak kita dilahirkan. Tanpa kita
Identitas
adalah sebentang Mobius yang melilit. Di satu sisi, ia mengukuhkan kebersamaan
satu kelompok, keselarasan visi dan ambisi, namun atas atas nama kemajuan,
prestasi dan kebersamaan, ia juga mampu secara brutal menghancurkan pihak yang
dinilai mengancam azas-azas yang mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap
sah karena ia membela kedaulatan kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting
survival purba yang kita wariskan dari leluhur kita sejak zaman Neolitik.
Sebaliknya,
kita bisa memaknakan identitas dengan parameter yang lebih luas. Identitas,
menurut Amin Maalouf, sekaligus inklusif dan eksklusif. Sebagai contoh, sebagai
warga Indonesia beretnis Cina, maka saya dianggap warga minoritas. Tetapi
sebagai anak turunan Cina, saya termasuk golongan warga terbesar di dunia.
Perbedaan perspektif ini tergantung dari sudut referensi mana kita meneropong
kedudukan kita. Sebaliknya, sebagai anak turunan Cina, dilahirkan di Tebing
Tinggi, Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut
sebuah film tentang seorang pegawai kecil di bagian arsip dan bermukim di
kawasan Lebak Bulus, saya menjadi sangat unik, karena tidak ada manusia lain
selain saya yang menyandang predikat seperti ini. Tetapi kalau kita meneliti
ini lebih dalam, maka kita akan menyimpulkan bahwa individualitas ini
sebenarnya tidak secara keseluruhan murni, karena ia juga bermuatan berbagai
elemen eksklusif yang bertautan dengan berbagai manusia, lepas dari
kepercayaan, suku maupun kebangsaan. Sebagai contoh, saya berbagi satu hobi
membaca dengan berjuta-juta manusia lain. Saya juga punya kesamaan seperti
mereka yang suka bakmi, tahu, ataupun kue putu atau dengan mereka yang suka
lagu-lagu Jeff Buckley.
Perumpamaan
di atas secara gamblang menunjukkan betapa fleksibel sebenarnya identitas itu.
Dalam skala makro, keberadaan kita mau tidak mau bertautan dengan begitu banyak
manusia dari latar yang berbeda-beda dan tidak terbatas oleh demarkasi lokasi
ataupun bangsa. Ironisnya, secara individu pun kita tidak mungkin dikelompokkan
dalam satu kelompok karena pada dasarnya kita semua sangat berbeda. Ini terbukti
beberapa waktu yang lalu oleh penelitian proyek genome manusia, di mana
ditegaskan bahwa DNA manusia adalah sebuah keajaiban dari ribuan permutasi yang
sama sekali tidak mungkin direplikasi. DNA kita ibaratnya hasil dari sekali
tekanan tombol mesin jackpot dengan ratusan ikon yang berbeda. Kemungkinan
untuk memreplikasi susunan DNA yang sama, sama sekali tidak ada.
Ilmu
pengetahuan yang tadinya kita harapkan sebagai bintang penyelamat untuk
membebaskan kita dari ortodoksi identitas, ternyata malah membuat kita semakin
terjerumus dalam jurang pemisah. Pengetahuan, menurut Michel Foucault, hanya
bisa membangkitkan lebih banyak pengetahuan. Michel Foucault memberi contoh
seperti ini: seorang dokter yang kena flu tahu bagaimana mengobati dirinya
dengan memilih obat yang tepat, tapi untuk kesehatan jiwanya ia tidak mampu
memberikan preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia
membutuhkan lebih dari obat, ia perlu melakukan pelatihan-pelatihan “ tehkne tou biou — untuk mencapai satu
titik konversi — metanoai. Tehkne tou biou ini bukan sebuah antidote, seperti
antidote untuk flu, tetapi sebuah perjalanan spiritualitas yang perlu ditekuni
dalam hidup masing-masing. Pengetahuan dalam hal ini tidak mampu banyak
membantu, karena ia justru mengakibatkan kita terperangkap dalam sejarah,
tradisi dan segala embel-embel kepurbaan yang semakin mengikat kita pada satu
identitas. Ia tidak mendorong kita untuk lebih mendekat pada realitas kehidupan
dalam arti sebenarnya.
Alain
Badiou dalam bukunya Ethics mengupas apa yang disebutnya sebagai akronim usang.
Seperti kata-kata Keadilan, Demokrasi, Cinta, dan dalam hal ini Identitas juga
bisa kita masukkan dalam deretan akronim abstrak ini. Sebagai sebuah term kata
Identitas seperti juga Keadilan tidak punya makna yang konkret. Karena ia hanya
sebuah term abstrak. Badiou ingin menjelaskan kepada kita bahwa ketika sebuah
kegiatan dibakukan menjadi sebuah simbol ia kehilangan makna aslinya. Ketika
kita mengatakan Keadilan maka makna asli dari kata itu, yaitu berlaku adil,
segera kehilangan makna aslinya. Kita tenggelam dalam sebuah semesta makna yang
begitu luas sehingga keaslian makna itu sendiri menjadi kabur. Kita lupa bahwa
Identitas berangkat dari kata kerja yang punya makna memperkenalkan diri,
mengidentifikan diri orang lain, atau menyatukan diri dengan orang lain. Dengan
kata lain, dengan merangkul kata identitas kita menjadi lupa melakukan hal-hal
yang berlaku untuk makna itu.
Identitas
juga bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan
orang lain. Identitas manusia selama hidupnya dicerminkan oleh seperangkat
opini orang lain. Identitas dalam hal ini terkandung kesemuan yang menjadi
kenyataan ketika kita mengkonfirmasi predikat-predikat dari orang lain. Ini
paradoks yang kita bawa dari lahir yang akan terus melekat kecuali kita
melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari tirani penafsiran Yang Lain. Dari
penelitian proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa
sama seperti orang lain, sekalipun kita berusaha keras. Keunikan setiap
individu sekaligus adalah kekuatan diri dan kelemahannya. Kekuatan karena
dengan memahami keunikan itu kita tidak tergoyahkan oleh penafsiran Yang Lain.
Kelemahannya adalah ketika kita berupaya untuk mengukuhkan identitas itu.
Seperti
jalan menuju kesejahteraan jiwa harus melewati tehkne tou biou, pengasahan
subjektivitas, maka untuk menjangkau orang lain kita juga perlu bekerja keras.
Langkah pertama adalah membebaskan diri dari identitas. Manusia bebas identitas
tidak memandang perbatasan negara, perbedaan suku atau pun kepercayaan sebagai
jurang pemisah. Karena manusia pada dasarnya terikat dalam kebersamaan yang tak
terelakkan, yaitu sebagai kelompok manusia berakal sehat dengan nilai-nilai
kebaikan hakiki, mengemban visi yang sama, yakni dunia yang lestari dan damai.
Dunia tanpa perbatasan dan identitas memungkinkan manusia untuk berpadu dalam
satu komunitas dunia, bahu membahu menyelesaikan persoalan satu kasus demi satu
kasus, tidak saling menyalip demi kepentingan bangsa, suku mau pun kepercayaan
masing-masing. Alain Badiou menyimpulkan dengan elegan, Satu bertaut dalam Dua.
Kebersamaan berada dalam pergelutan perbedaan. Ungkapan ini mengingatkan kita
bahwa yang perlu kita lakukan bukan menyatu dengan orang banyak tetapi berusaha
keras untuk mengembangkan simpati dan empati pada orang lain tanpa kekalutan
historis, suku, maupun kepercayaan. Dari satu individu ke individu yang lain.
Tanpa baliho yang meneriakkan slogan kebesaran ini dan itu.
Imajinasi
juga sangat berperan dalam pendekatan kita pada Yang Lain. Dalam novelnya
Identity, Milan Kundera memberi sebuah contoh bagaimana paras seseorang yang
tak dikenal di sebuah kafe meninggalkan impresi yang begitu dalam pada tokoh
utama novel sehingga ia berkembang dan menjadi seorang karakter yang terasa
begitu akrab, seperti seseorang yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun.
Melalui imajinasi, simpati dan empati kita akan terpicu, terlepas dari belenggu
pradugaan dan keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada Yang
Lain
PERSAUDARAAN
Hidup Persaudaraan seperti dicontohkan Santo Fransiskus dari Assisi dan
para saudara dina awal
Bagi
Fransiskus, salah satu kata terpenting dalam kamusnya adalah “saudara-saudari.”
Bagi dia juga tidak ada perbedaan antara pribadi manusia yang muda dan tua,
miskin dan kaya, laki-laki dan perempuan, terpelajar dan tidak terpelajar.
Semua adalah saudara-saudari, baik mereka yang Kristiani maupun beriman
kepercayaan lain, baik yang baik maupun jahat, baik kawan maupun lawan, bahkan hewan-hewan
dan segenap ciptaan menjadi saudara-saudari bagi Fransiskus. Pandangan
Fransiskus ini tidaklah biasa pada masa hidupnya, bahkan sampai sekarang pun
terkadang masih terasa “aneh” di telinga orang dunia yang “normal.”
Bagi
Fransiskus, persaudaraan dalam keluarga besar Fransiskan haruslah berdasarkan
ketaatan dan cinta kasih. Ketaatan adalah persaudaraan, persaudaraan adalah
cinta kasih. Semua berarti hal yang sama. Dalam persaudaraan, setiap orang
mesti mendengar dan memberi telinga kepada saudara atau saudarinya yang
menceritakan pengalamannya, keterbukaannya, pengharapannya dan permasalahannya.
Saudara atau saudari yang memberi telinganya kepada orang lain harus mengampuni
kesalahan sesama. Jika ada seorang saudara atau saudari yang sakit, maka saudara
atau saudarinya yang lain mesti merawatnya sama seperti seorang ibu merawat
anaknya yang sakit. Jika seorang saudara atau saudari berada dalam situasi
krisis, maka dia pun jangan takut untuk menyatakan situasinya kepada saudara
atau saudarinya yang lain. Setiap saudara atau saudari mesti menerima sesama
dengan penuh cinta kasih, tanpa prasangka. Dengan demikian dia “mentaati”
sesama dan ketaatan itu menjadi pokok dan dasar persaudaraan. Dari pelbagai buku klasik yang menceritakan
riwayat hidupnya, Fransiskus sendiri memang nyata menjadi contoh sempurna dari
ketaatan itu.
Mengenai
pandangan dan sikap Fransiskus terhadap hidup persaudaraan ini, Thomas dari
Celano menulis:
Santo
Fransiskus, mendesak semua orang terlebih-lebih kepada cinta kasih, memperingatkan
mereka untuk saling menunjukkan – yang seorang kepada yang lain –
keramah-tamahan dan persahabatan suatu
kehidupan keluarga, “Aku berkeinginan,” katanya, “para saudaraku akan
menunjukkan diri mereka sebagai anak-anak dari ibu yang sama.”
Mari sekarang kita lihat apa yang ditulis Fransiskus dalam “Peraturan Hidup” yang dibuatnya untuk para saudara dina:
Mari sekarang kita lihat apa yang ditulis Fransiskus dalam “Peraturan Hidup” yang dibuatnya untuk para saudara dina:
“Dan di mana
pun juga saudara-saudara berada dan bertemu, hendaklah mereka menunjukkan bahwa
mereka satu sama lain merupakan saudara sekeluarga. Maka yang satu hendaknya
dengan leluasa menyatakan kebutuhannya kepada yang lain; karena jika seorang
ibu mengasuh dan mengasihi anaknya yang badani, betapa lebih saksama lagi
seorang saudara harus mengasihi dan mengasuh saudaranya yang rohani. Dan jika ada
saudara yang tertinggal karena sakit, maka saudara lainnya harus melayaninya,
sebagaimana mereka sendiri ingin dilayani.”
Thomas dari
Celano juga dengan indahnya menggambarkan hidup persaudaraan para pengikut
Fransiskus awal dan buah-buah yang dihasilkannya:
“Banyak dari antara rakyat, bangsawan dan orang biasa, rohaniwan dan awam, berkat ilham ilahi mulai menggabungkan diri dengan Santo Fransiskus, karena ingin menjadi ksatria Kristus untuk selama-lamanya di bawah pimpinan dan bimbingannya … Memang di atas dasar yang kokoh itulah berdiri bangunan cinta kasih dari batu-batu hidup, yang terkumpul dari segala penjuru dunia dan yang disusun menjadi kediaman Roh Kudus. Betapa hebatnya murid-murid Kristus yang baru itu berkobar-kobar karena cinta kasih. Betapa besarnya cinta kepada persekutuan suci itu hidup dalam hati mereka! Sebab bila mereka berpapasan di mana saja atau seperti lazimnya saling berjumpa di jalan, maka terlepaslah anak panah cinta kasih ke atas, yang di atas segala kecenderungan hati kodrati menaburkan benih cinta kasih yang sejati.”
“Banyak dari antara rakyat, bangsawan dan orang biasa, rohaniwan dan awam, berkat ilham ilahi mulai menggabungkan diri dengan Santo Fransiskus, karena ingin menjadi ksatria Kristus untuk selama-lamanya di bawah pimpinan dan bimbingannya … Memang di atas dasar yang kokoh itulah berdiri bangunan cinta kasih dari batu-batu hidup, yang terkumpul dari segala penjuru dunia dan yang disusun menjadi kediaman Roh Kudus. Betapa hebatnya murid-murid Kristus yang baru itu berkobar-kobar karena cinta kasih. Betapa besarnya cinta kepada persekutuan suci itu hidup dalam hati mereka! Sebab bila mereka berpapasan di mana saja atau seperti lazimnya saling berjumpa di jalan, maka terlepaslah anak panah cinta kasih ke atas, yang di atas segala kecenderungan hati kodrati menaburkan benih cinta kasih yang sejati.”
Pelbagai
kesaksian dari para Fransiskan maupun non-Fransiskan pada abad 12-13 cukup
sepakat dalam evaluasi mereka atas peri kehidupan para Fransiskan awal.
Dikatakan oleh mereka bahwa fraternitas para saudara dina “menerobos
struktur-struktur kelas yang dijadikan alat oleh suatu mentalitas feodal dan
abad pertengahan.” Persaudaraan (fraternitas) seperti dipraktekkan
secara unik oleh para saudara dina awal merupakan sesuatu yang sungguh baru
dalam konteks konsepsi piramidal yang mencirikan jaman pada waktu gerakan
Fransiskan itu muncul.
Pada titik ini
pentinglah bagi kita masing-masing untuk bertanya dari manakah kiranya
Fransiskus memperoleh ilham untuk sampai
kepada penghayatan arti fraternitas yang sebegitu uniknya? Dalam
kesempatan hari ini marilah kita membahas pokok ini secara singkat saja. Paling
sedikit kita harus dapat sampai kepada jawaban atas pertanyaan tersebut.
Tentunya sebuah jawaban yang dapat dipertanggung-jawabkan dengan baik.
Karena Allah:
Perintah untuk saling mengasihi
Menurut Pater
Gerald Lobo, OFM untuk menjawab
pertanyaan tentang fraternitas di atas janganlah kita mengacu kepada
sosiologi atau psikologi, tetapi mencarinya di dalam teologi atau dalam
pewahyuan. Titik tolaknya adalah Penjelmaan Allah à Sabda menjadi
manusia! Kasih Allah sendiri. Kasih Allah inilah yang menjadi fundamen hidup
persaudaraan. Kita dapat menamakannya dinamika relasional yang terdiri dari
pemahaman bersama, kesiapan untuk saling membantu, menaruh perhatian pada hidup
saudara-saudari yang lain, syering pelbagai suka cita dan kesedihan serta
kesusahan, dukungan yang sejati dan sumbangan terbaik yang dapat dibuat oleh
masing-masing anggota persaudaraan.
Kekaguman
penuh pesona yang sedemikian hebatnya dari Fransiskus akan Allah adalah suatu
karakteristik luarbiasa dari keseluruhan visinya tentang kehidupan. Fransiskus
yakin bahwa Allah telah memberikan dan terus memberikan kepada kita kehidupan
dan eksistensi. Dan Allah telah melakukan dan masih melakukan semua yang baik
bagi kita. Perwujudan yang unik dari kasih ini adalah penjelmaan,
penebusan dan kedatangan Kristus untuk
kedua kalinya kelak. Pater Gerry Lobo mengatakan bahwa inilah fundamen
alkitabiah-teologis dari persaudaraan dan motif untuk kasih persaudaraan, yakni
karena Allah mengasihi kita, karena Allah yang adalah kasih.
Perintah
Kristus kepada para murid-Nya untuk saling mengasihi (Yoh 15:12) memberikan
kepada kita semua para Fransiskan tambahan insentif untuk saling mengasihi
sebagai saudara dan saudari. Perintah yang diberikan oleh Kristus kepada kita
adalah “jalan” yang dijalani-Nya sendiri untuk menunjukkan betapa besar kasih
Allah kepada kita (Yoh 14:3) dan agar kita dapat mempunyai hidup secara
berkelimpahan (Yoh 10:10). Perintah untuk mengasihi yang sama adalah cara
bagaimana para murid Kristus seharusnya menjalin hubungannya dengan Allah dan
dengan sesama. Ini adalah sebuah misi yang perlu diaktualisasikan setiap hari
dalam ikatan persaudaraan.
Kehidupan
Kristus di bumi ini, bahkan sampai kematian-Nya merupakan suatu tanda yang
jelas tentang kasih Bapa surgawi kepada-Nya dan suatu tanda pelayanan Kristus
bagi para saudara dan saudari-Nya. Dengan demikian hidup persaudaraan dari para
saudara dan saudari merupakan sebuah realisasi hidup-kasih yang dijalani Yesus
sendiri. Hal ini memerlukan pengungkapan-pengungkapan konkret, tidak sekedar
kata-kata dan perasaan-perasaan yang enak. Jadi sebenarnya sebuah persaudaraan
dibentuk untuk memberikan hidup kepada orang-orang lain.
Dinamika Persaudaraan
Dalam kesetiaannya
terhadap perintah Kristus, Fransiskus mencari jalan-jalan (cara-cara) tertentu
untuk mewujudkan relasi-relasi persaudaraan seperti diungkapkannya dalam
AngTBul:
“Cinta kasih antara mereka itu haruslah mereka nyatakan dengan
perbuatan, sesuai dengan kata rasul: Marilah kita mengasihi bukan dengan
perkataan atau lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran. Janganlah
mereka memburukkan nama seorang pun;
janganlah mereka bersungut-sungut dan memfitnah orang lain, karena ada
tertulis: Para pengumpat dan pemfitnah dibenci oleh Allah. Lagi pula hendaklah
mereka dengan sopan dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang; janganlah
mereka menghakimi dan menghukum. Dan lagi, sesuai dengan firman Tuhan,
janganlah mereka melihat dosa orang lain yang kecil-kecil, tetapi lebih-lebih
hendaklah mereka merenungkan dosanya sendiri dengan hati yang pahit pedih.
Mereka harus berlomba-lomba untuk melalui pintu yang sesak, sebab Tuhan
berfirman: Sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan; dan
sedikitlah orang yang mendapatinya.”
Pater Gerry
Lobo juga membuat daftar singkat yang berisikan beberapa unsur yang paling
hakiki dari persaudaraan Fransiskan. Berikut ini adalah terjemahan bebas dan
sedikit saduran dari saya:
1. Cinta kasih yang diungkapkan dalam tindakan (Love in action). Pelayanan yang diberikan seorang anggota persaudaraan kepada para
saudara dan saudarinya mengambil contoh tindakan Yesus, yang pada waktu
perjamuan terakhir membasuh kaki para murid-Nya (Yoh 13:1 dsj). Oleh karena itu
Ekaristi adalah cinta kasih yang diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Keakraban (Familiarity). Keakraban di antara para saudara dan saudari “merupakan suatu cara yang sangat konkret dalam mewujudkan gambaran ideal Perjanjian Baru tentang rumah dan keluarga Allah, sebagai sebuah komunitas para putera dan puteri Bapa surgawi. Kita menjadi anak-anak-Nya karena Putera dari Bapa itu telah menjadi saudara kita.” Keakraban termaksud dapat kita lihat dalam pertemuan-pertemuan para anggota persaudaraan: tidak perlu dilakukan perkenalan karena kita sudah saling mengenal, yakni mengenai latar belakangnya, hal-hal yang diminatinya, kelemahan-kelemahannya, kekuatan-kekuatannya, suka citanya, kesusahan-kesusahannya. Dalam keakraban ini orang-orang asing menjadi teman-teman.
3. Mutualitas (Mutuality). Ini adalah soal “give and take”, saling percaya dan atas pertimbangan bahwa setiap anggota persaudaraan adalah sama-sederajat (equal). Di sini tidak ada tempat untuk memperlakukan seorang lain sebagai obyek curahan cinta kasih kita. Sebaliknya pihak lain itu adalah mitra atau partner yang memiliki hak-hak yang sama. Mutualitas berarti tidak dengan sembrono ikut campur urusan orang lain. Mutualitas menuntut dari para anggota persaudaraan suatu sikap moral yang fundamental dalam hal hormat terhadap para saudara dan saudari yang lain.
4. Membiarkan diri dilayani orang lain (Letting be Administered). Di sini membuat kebutuhan-kebutuhannya, apakah kebutuhan fisik, psikologis atau spiritual diketahui oleh orang lain (saling membuka diri). Untuk pergi kepada orang lain diperlukan kerendahan hati. Namun begitu melakukannya, orang bersangkutan itu pun akan melihat dirinya dibebaskan/dimerdekakan. Ini bukanlah interaksi antara majikan dan pegawai. Di sini anda memperkenankan orang-orang lain untuk melayanimu, untuk mengarahkanmu dalam menapak tilas jalan kehidupanmu. Seringkali dalam hal sedemikian kita gagal karena kerendahan hati merupakan keutamaan yang sangat mahal bagi kita!
2. Keakraban (Familiarity). Keakraban di antara para saudara dan saudari “merupakan suatu cara yang sangat konkret dalam mewujudkan gambaran ideal Perjanjian Baru tentang rumah dan keluarga Allah, sebagai sebuah komunitas para putera dan puteri Bapa surgawi. Kita menjadi anak-anak-Nya karena Putera dari Bapa itu telah menjadi saudara kita.” Keakraban termaksud dapat kita lihat dalam pertemuan-pertemuan para anggota persaudaraan: tidak perlu dilakukan perkenalan karena kita sudah saling mengenal, yakni mengenai latar belakangnya, hal-hal yang diminatinya, kelemahan-kelemahannya, kekuatan-kekuatannya, suka citanya, kesusahan-kesusahannya. Dalam keakraban ini orang-orang asing menjadi teman-teman.
3. Mutualitas (Mutuality). Ini adalah soal “give and take”, saling percaya dan atas pertimbangan bahwa setiap anggota persaudaraan adalah sama-sederajat (equal). Di sini tidak ada tempat untuk memperlakukan seorang lain sebagai obyek curahan cinta kasih kita. Sebaliknya pihak lain itu adalah mitra atau partner yang memiliki hak-hak yang sama. Mutualitas berarti tidak dengan sembrono ikut campur urusan orang lain. Mutualitas menuntut dari para anggota persaudaraan suatu sikap moral yang fundamental dalam hal hormat terhadap para saudara dan saudari yang lain.
4. Membiarkan diri dilayani orang lain (Letting be Administered). Di sini membuat kebutuhan-kebutuhannya, apakah kebutuhan fisik, psikologis atau spiritual diketahui oleh orang lain (saling membuka diri). Untuk pergi kepada orang lain diperlukan kerendahan hati. Namun begitu melakukannya, orang bersangkutan itu pun akan melihat dirinya dibebaskan/dimerdekakan. Ini bukanlah interaksi antara majikan dan pegawai. Di sini anda memperkenankan orang-orang lain untuk melayanimu, untuk mengarahkanmu dalam menapak tilas jalan kehidupanmu. Seringkali dalam hal sedemikian kita gagal karena kerendahan hati merupakan keutamaan yang sangat mahal bagi kita!
5. Perhatian atas saudara dan saudari yang sakit (Care of the Sick). Fransiskus dan Klara sangat sadar akan sikap dan kewajiban mereka
terhadap saudara dan saudari yang menderita sakit-penyakit dalam
persaudaraan-persaudaraan mereka. AngTBul X, AngBul IV:2, “Nyanyian Fransiskus
untuk membesarkan hati wanita-wanita miskin di San Damiano (NyaFran),” Pth XXIV dan Kidmat, khususnya ayat 10-11;
semua ini merupakan indikasi bagi kita semua betapa penuh perhatian Fransiskus
atas mereka yang menderita sakit-penyakit. Fransiskus dan Klara sangat memahami
bahwa orang sakit membutuhkan pertolongan dan perhatian yang lebih daripada
orang-orang yang sehat waalfiat. Jadi di sini ada “perlakuan yang tidak sama” (unequal
treatment) terhadap mereka yang sakit, agar supaya tercapai “persamaan” (equality)
untuk semuanya, baik sakit maupun sehat. Mereka yang sakit tidak boleh
dipertimbangkan sebagai beban, karena pikiran dan sikap seperti itu
bertentangan dengan pikiran dan sikap Kristus.
6. Sikap dari orang sakit atau sehat (Attitude of the sick or healthy). Yang patut kita camkan adalah bahwa Allah-lah yang penting dalam apa
saja yang kita lakukan, atau dalam kondisi macam apa pun kita yang kita
alami/hadapi. Ketaatan kepada Allah dalam segala situasi kehidupan, itulah yang
penting. Dengan kata lain, penderitaan karena sakit, kalau diterima dengan
positif, akan membawa si penderita kepada pandangan baru mengenai kehidupan.
Sakit-penyakit adalah cara Allah dalam berurusan dengan umat yang dikasihi-Nya.
Kesehatan adalah anugerah Allah kepada setiap orang. Dalam kondisi sehat pun
kita harus melakukan discernment
mengenai kehendak Allah atas diri kita dan melakukan apa yang
diwahyukan-Nya kepada kita. Dalam setiap keadaan, yang utama adalah Allah
sendiri. Baca dan renungkanlah “Doa dan ucapan syukur” yang terdapat dalam
“Peraturan Hidup” para saudara dina.
7. Sikap penuh syukur (Gratitudinal Attitude). Di atas segalanya, persaudaraan Fransiskan dibentuk dengan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Allah mengasihi kita dan kita pun mengasihi-Nya dalam sikap dan tindakan saling mengasihi dengan sesama. Sikap penuh syukur melupakan hal-hal yang tidak hakiki dalam hidup ini, dan hanya berkonsentrasi pada Allah yang adalah Baik, segala kebaikan, seluruhnya baik. Dia adalah sumber dari hidup persaudaraan karena Dia adalah Pencipta dan Bapa dari para saudara dan saudari yang berkumpul bersama untuk hidup bersama. Allah tidak hidup karena syukur dan terima kasih kita, tetapi kita pasti akan dipelihara lewat pelbagai rasa syukur yang kita panjatkan kepada-Nya.
7. Sikap penuh syukur (Gratitudinal Attitude). Di atas segalanya, persaudaraan Fransiskan dibentuk dengan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Allah mengasihi kita dan kita pun mengasihi-Nya dalam sikap dan tindakan saling mengasihi dengan sesama. Sikap penuh syukur melupakan hal-hal yang tidak hakiki dalam hidup ini, dan hanya berkonsentrasi pada Allah yang adalah Baik, segala kebaikan, seluruhnya baik. Dia adalah sumber dari hidup persaudaraan karena Dia adalah Pencipta dan Bapa dari para saudara dan saudari yang berkumpul bersama untuk hidup bersama. Allah tidak hidup karena syukur dan terima kasih kita, tetapi kita pasti akan dipelihara lewat pelbagai rasa syukur yang kita panjatkan kepada-Nya.
Bacaan Kitab Suci untuk direnungkan secara pribadi
maupun dalam kelompok:
1. Yoh 17:20-21 (doa Yesus untuk para murid-Nya)
2. Rm 15:5-6 (doa Paulus bagi persaudaraan Kristiani)
3. Gal 6:1-10 (nasihat Paulus bagi kita untuk saling membantu)
4. Kis 2:42 (kumpul-kumpulnya orang Kristiani)
5. Mat 25:31-46 (yang terkecil dari para saudara-Ku)
6. Rm 12:9-21 (cinta kasih persaudaraan)
7. 1Kor 13:1-13 (kesempurnaan cinta kasih)
8. Ef 2:11-22 (dipersatukan dalam Kristus)
9. 1Ptr 4:7-11 (hidup orang Kristiani)
10. Flp 2:1-11 (bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus)
1. Yoh 17:20-21 (doa Yesus untuk para murid-Nya)
2. Rm 15:5-6 (doa Paulus bagi persaudaraan Kristiani)
3. Gal 6:1-10 (nasihat Paulus bagi kita untuk saling membantu)
4. Kis 2:42 (kumpul-kumpulnya orang Kristiani)
5. Mat 25:31-46 (yang terkecil dari para saudara-Ku)
6. Rm 12:9-21 (cinta kasih persaudaraan)
7. 1Kor 13:1-13 (kesempurnaan cinta kasih)
8. Ef 2:11-22 (dipersatukan dalam Kristus)
9. 1Ptr 4:7-11 (hidup orang Kristiani)
10. Flp 2:1-11 (bersatu dan merendahkan diri seperti Kristus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment yach...